Salah satu aspek pembahasan dalam ilmu Aqidah ialah terkait ayat-ayat Mutasyabih sebagaimana firman Allah di dalam surat Ali-Imran ayat 7 menjelaskan terkait hal ini :
هُوَ الَّذِي أُنزِلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ
"Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepada kamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an; dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat".
A. Defenisi
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubah ialah keadaan di mana salah satu dari dua hal tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara kongkret maupun abstrak. Allah berfirman:
وَأْتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا
"Dan mereka diberi yang serupa dengannya." (QS. Al-Baqarah: 25)
Maksudnya sebagian buah-buahan surga itu serupa dengan sebagian yang lain karena adanya kemiripan dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan hakikat.[1] Para ulama berbeda pendapat, apakah ayat mutasyabih dapat diketahui maknanya atau hanya diketahui oleh Allah
Ulama berbeda pendapat, apakah ayat sifat termasuk ayat mutasyabih atau tidak, dan ulama berbeda pendapat dalam menyikapi ayat-ayat sifat seperti;
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى , يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ , وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
"(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas `Arsy, Tangan Allah di atas tangan mereka, Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya."
Ayat-ayat di atas diperdebatkan oleh para ulama dalam menyikapinya, sebagian mengatakan wajib diimani tanpa pentakwilan (tafwid dan itsbat), sebagian yang lain mengatakan wajib ditakwil.
Telah kita ketahui bahwa ayat-ayat tentang sifat merupakan bagian dari ayat mutasyabih didalam Al-Qur'an, seperti ayat berikut:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
"(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas `Arsy" (QS. Thaha: 5)
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
"Tangan Allah di atas tangan mereka" (QS. Al-Fath: 10)
والسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
"Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya" (QS. Az-Zumar: 67)
Para ulama berbeda cara dalam mengimani ayat-ayat sifat, mereka terbagi menjadi beberapa madzhab dalam permasalahan ini, ada yang mengikuti madzhab tafwid dan ada yang mengikuti madzhab takwil.
B. Perbedaan Metode Pemahaman terhadap Ayat Sifat
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, para ulama berbeda metode dalam mengimani ayat sifat, sebagai berikut:
1. Tafwidh (تفويض)
Tafwidh secara bahasa merupakan masdar dari kata “فَوَّضَ - يُفَوِّضُ “ yang artinya mendelegasikan (melimpahkan wewenang) atau menyerahkan. Para ulama berbeda dalam penerapan Tafwidh, antara ulama Asya’irah dengan ulama Atsariah / Ahlul Hadits, sehingga inilah yang menjadi sebab perbedaan yang terus meruncing di kalangan kaum muslimin.
a. Asya’irah dan Maturidiah
Tafwidh menurut Madzhab Asy’riah ialah pada makna lafaz dan kaifiah/hakikat, yakni menyerahkan sepenuhnya makna lafaz dan hakikatnya kepada Allah, sebagiamana yang disebutkan Imam Suyuthi:
وَتَفْوِيضِ مَعْنَاهَا الْمُرَادِ مِنْهَا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَلَا نُفَسِّرُهَا مَعَ تَنْزِيهِنَا لَهُ عَنْ حَقِيقَتِهَا
“Dan menyerahkan makna yang dimaksud darinya kepada Allah Ta'ala, dan kita tidak menafsirkannya, seraya kita tetap menyucikan-Nya dari hakikatnya”[2]
Berkata Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah Muhazzab:
وقال آخرون لا تتأول بل يمسك عن الكلام في معناها ويوكل علمها إلى الله تعالى
“Dan sebagian ulama yang lain berkata: '(Nas-nas tersebut) tidak boleh ditakwil, melainkan (kita) menahan diri untuk berbicara tentang maknanya dan menyerahkan ilmunya (pengetahuan tentang hakikatnya) kepada Allah Ta'ala”[3]
Di antara tokoh Indonesia yang terkenal mendefenisikan tafwidh seperti ini, ialah Ustadz Abdul Somad, Lc., M.A., Ph.d., beliau berkata dalam buku 37 :
“Maka dalam memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang semakna dengan ini, para ulama sejak zaman para shahabat, tabi’in, tabi’ at-tabi’in, hingga sampai saat ini memahami ayat-ayat mutasyabihat dengan dua metode:
Metode Pertama: Tafwidh (Menyerahkan maknanya kepada Allah Swt).”[4]
b. Tafwidh Atsariah / Ahlul Hadits
Tafwidh menurut Madzhab Atsariah / Ahlul Hadits ialah itsbat makna lafaz dan tafwidh kaifiah/hakikat, sebagaiman yang dijelaskan Imam Malik ketika ditanya mengenai ayat الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى beliau menjawab:
الاسْتِوَاءُ مِنْهُ مَعْلُومٌ، وَالكَيْفَ مِنْهُ غَيْرُ مَعْقُولِ، وَالسُّؤَالُ عَنْ هَذَا بِدْعَةٌ، وَالْإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ
"Istiwa' dari-Nya maklum (diketahui), dan bagaimananya dari-Nya adalah tidak dapat dijangkau oleh akal, dan bertanya tentang hal ini adalah bid'ah, dan iman kepadanya adalah wajib."[5]
Di antara tokoh Indonesia yang terkenal mendefenisikan tafwidh seperti ini, ialah Buya HAMKA beliau berkata dalam 1001 Soal Kehidupan :
“Ulama Salaf (yang terdahulu), sejak sahabat-sahabat Rasulullah sampai kepada ulama mutaqaddimin, pada umumnya berpendapat bahwa ayat-ayat seperti itu—yang mengatakan Allah bertangan, Allah mempunyai banyak mata, Allah bersemayam di atas arsy— haruslah (wajib) diterima dalam keseluruhannya, dengan tidak menanyakan, “kaifa,” bagaimana rupa tangan itu, mata itu, atau duduk seperti itu. Dia bertangan, bermata, dan semayam, sebab Dia sendiri yang mengatakan badan kita wajib iman. Kita tidak perlu menanyakan berapakah tangan itu, samakah dengan tangan makhluk. Sebab akal tidak sampai jangkauannya ke daerah itu.”[6]
Begitu juga Prof. Dr. Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh 1 mengatakan:
”..seperti kata “Wajah Allah” diartikan “Dzat Allah” dan “Allah bersemayam” diartikan “Allah berkuasa”. Sedangkan ulama yang tidak mau menggunakan takwil, tetap mengartikan ayat mutasyâbihât itu menurut apa adanya”[7]
Untuk lebih panjangnya mengenai tafwidh menurut atsariah / Ahlul Hadits akan dibahas pada poin itsbat.
Meskipun terjadi perbedaan pengertian tafwidh, tetapi penggunaan istilah tafwidh identik dengan pengertian yang dibawakan ulama Asya’irah. Seperti yang disebutkan oleh ulama-ulama Asya’irah ketika menyebutkan istilah tafwidh, seperti Syaikh Ibrahim al-Laqqani:
وَكُلُّ نَصٍّ أَوْهَمَ التَّشْبِيهَا ... أَوِّلْهُ أَوْ فَوِّضْ وَرُمْ تَنْزِيهًا
2. Takwil (تأويل)
Takwil dapat kita lihat pengertiannya sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Ibrahim al-Baijuri:
( أَوِّلْهُ ) أَي أَحْمِلْهُ عَلَى خِلَافِ ظَاهِرِهِ مَعَ بَيَانِ الْمَعْنَى الْمُرَادِ
“Takwillah’ artinya pahamilah/artikanlah ia dengan makna yang menyalahi makna lahiriahnya, serta menjelaskan makna (lain) yang dimaksud”[9]
Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan maksud takwil:
ومنهم من أوله على وجه يليق، مستعمل في كلام العرب
“Ada diantara mereka yang menta`wilkannya ke pendapat layak yang digunakan dalam bahasa Arab”[10]
Dari dua defenisi di atas dapat kita simpulkan bahwa takwil di sini ialah mengartikan sebuah lafazh kepada makna yang bukan aslinya, selama masih layak digunakan dalam bahasa Arab. Metode takwil ini yang terkenal digunakan oleh Madzhab Asya’irah dengan Maturidiah.
Di antara bentuk takwil yang digunakan oleh ulama ialah:
a. Imam Al-Baji ketika menjelaskan hadits jariyah, beliau berkata:
وَقَوْلُهُ: لِلْجَارِيَةِ أَيْنَ اللَّهُ؟ فَقَالَتْ: فِي السَّمَاءِ لَعَلَّهَا تُرِيدُ وَصْفَهُ بِالْعُلُوِّ وَبِذَلِكَ يُوصَفُ كُلُّ مَنْ شَأْنُهُ الْعُلُوُّ فَيُقَالُ مَكَانُ فُلَانِ فِي السَّمَاءِ بِمَعْنَى عُلُوِّ حَالِهِ وَرِفْعَتِهِ وَشَرَفِهِ
"Dan sabda beliau (Nabi ﷺ) kepada budak perempuan itu: 'Di mana Allah?', lalu ia menjawab: 'Di langit', barangkali yang ia maksud adalah menyifati-Nya dengan ketinggian (al-'uluw). Dan dengan (sifat) itulah disifati setiap orang yang memiliki kedudukan yang tinggi. Maka (dalam bahasa Arab) dikatakan: 'kedudukan si fulan itu di langit', yang bermakna tingginya kedudukannya, keluhurannya, dan kemuliaannya."[11]
b. Imam Suyuthi mentakwilkan hadits jariyah menjadi:
أَوْ يُؤَوَّلُ بِأَنَّ الْمُرَادَ امْتِحَانُهَا هَلْ هِيَ مُوَحِّدَةٌ تُقِرُّ بِأَنَّ الْخَالِقَ الْمُدَبِّرَ هُوَ اللَّهُ وَحْدَهُ وَهُوَ الَّذِي إِذَا دَعَاهُ الدَّاعِي اسْتَقْبَلَ السَّمَاءَ كَمَا إِذَا صَلَّى لَهُ يَسْتَقْبِلُ الْكَعْبَةَ وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَنَّهُ مُنْحَصِرٌ فِي السَّمَاءِ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُنْحَصِرًا فِي جِهَةِ الْكَعْبَةِ بَلْ ذَلِكَ لِأَنَّ السَّمَاءَ قِبْلَةُ الدَّاعِينَ كَمَا أَنَّ الْكَعْبَةَ قِبْلَةُ الْمُصَلِّينَ أَمْ هِيَ مِنَ الَّذِينَ يَعْبُدُونَ الْأَوْثَانَ الَّتِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ.
“Atau dita’wilkan, bahwa maksudnya adalah ujian terhadap hamba sahaya perempuan itu, apakah ia bertauhid; mengakui bahwa Pencipta dan Pengatur adalah Allah saja, yang ketika diseru oleh orang yang berseru ia menghadap ke langit, sebagaimana ketika shalat menghadap ke Ka’bah. Bukanlah maknanya bahwa Allah Swt terbatas di langit, Allah Swt juga tidak terbatas di arah Ka’bah. Akan tetapi itu dilakukan karena langit adalah arah kiblat bagi orang yang berdoa sebagaimana Ka’bah sebagai kiblat bagi orang yang shalat. Apakah perempuan itu termasuk orang-orang yang menyembah berhala-berhala di depan mereka?”[12]
3. Itsbat (إثبات)
Sebagiamana yang telah disebutkan sebelumnya pada pembahasan tafwidh menurut Madzhab Atsariah / Ahlul Hadits ialah itsbat makna lafaz dan tafwidh kaifiah/hakikat, sehingga itsbat ialah menetapkan lafaz dan makna dari sifat tersebut bagi Allah, dengan keyakinan penuh bahwa sifat itu tidak sama dan tidak dapat dibayangkan seperti sifat makhluk.
Hal ini jelas sebagaimana disebutkan oleh para ulama, di antaranya:
a. Ummu Salamah radiallahu’anha (Istri Nabi ﷺ) ketika ditanya mengenai firman Allah الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى beliau menjawab:
أخبرنا عبد الله بن محمد بن أحمد، قال: ثنا عبد الصمد بن علي، قال: حدثني محمد بن عمر بن كبيشة أبو يحيى النهدي، بالكوفة في جبانة سالم قال: حدثنا أبو كنانة محمد بن أشرس الأنصاري قال: ثنا أبو عمير الحنفي ، عن قرة بن خالد ، عن الحسن ، عن أمه ، عن أم سلمة في قوله {الرحمن على العرش استوى} [طه: 5]
قالت: «الكيف غير معقول والاستواء غير مجهول والإقرار به إيمان والجحود به كفر»
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Ahmad, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdus Shamad bin Ali, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Umar bin Kubaisyah Abu Yahya an-Nahdi, di Kufah di pemakaman Salim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Kinanah Muhammad bin Asyras al-Anshari, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu 'Umair al-Hanafi, dari Qurrah bin Khalid, dari al-Hasan, dari ibunya, dari Ummu Salamah mengenai firman-Nya: {الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ} [طه: 5]
Beliau (Ummu Salamah) berkata:
"الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَالِاسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ، وَالْإِقْرَارُ بِهِ إِيْمَانٌ، وَالْجُحُوْدُ بِهِ كُفْرٌ."
"Caranya (Allah bersemayam) tidak dapat dinalar oleh akal, namun makna istiwa' (bersemayam) itu sendiri bukanlah sesuatu yang tidak diketahui. Mengakuiya adalah sebuah keimanan, dan mengingkarinya adalah sebuah kekufuran."[13]
b. Imam Malik (w. 174 H)
الاسْتِوَاءُ مِنْهُ مَعْلُومٌ، وَالكَيْفَ مِنْهُ غَيْرُ مَعْقُولِ، وَالسُّؤَالُ عَنْ هَذَا بِدْعَةٌ، وَالْإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ
"Istiwa' dari-Nya maklum (diketahui), dan bagaimananya dari-Nya adalah tidak dapat dijangkau oleh akal, dan bertanya tentang hal ini adalah bid'ah, dan iman kepadanya adalah wajib."[14]
c. Abu Bakar Ash-Shidiq radiallahu’anhu
Ketika meninggalnya Nabi Muhammad, Abu Bakar berkata:
من كان يعبد محمدا فإن مُحَمَّدًا قد مات ومن كان يعبد الله فإن الله في السماء حي لا يموت
"Siapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya beliau telah meninggal, dan siapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah di langit dia hidup lagi tidak akan pernah mati."
(Diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam Tarikhnya[15] dan Ad-Darimi dalam Ar-Radd ala Al Muraisi dengan sanad shahih. Di Shahihkan oleh Al Hafidz Adz Dzahabi[16])
d. Imam Tirmidzi ketika mengomentari hadits :
إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ الصَّدَقَةَ وَيَأْخُذُهَا بِيَمِينِهِ
"Sesungguhnya Allah Ta'ala menerima sedekah dengan tangan kanan-Nya"
Berkata Imam Tirmidzi: "Para ulama telah memberi penjelasan tentang hadits diatas dan hadits-hadits lain yang memuat sifat-sifat Rabb dan Nuzul-Nya setiap malam ke langit dunia, mereka berkata: riwayat-riwayat tersebut semuanya shahih dan wajib untuk diimani serta tidak boleh dipertanyakan bagaimana hakekat shifat tersebut." "Diriwayatkan dari Malik bin Anas, Sufyan bin 'Uyainah, Abdullah bin Al Mubarak mereka semuanya berkata tentang sifat-sifat Allah, Imanilah sifat-sifat tersebut sebagaimana telah diriwayatkan tanpa mengatakan bagaimana hakekatnya, demikianlah perkataan para ulama Ahlus sunnah wal jama'ah."
"Adapun golongan Jahmiyyah, mereka mengingkari riwayat-riwayat tersebut bahkan mengatakan bahwa menetapkan sifat untuk Allah merupakan tasybih (menyerupakan Allah dengan hambanya) kemudian mereka menta'wilkan ayat-ayat yang memuat sifat-sifat Allah seperti tangan, pendengaran, penglihatan dan menafsirkannya tidak seperti penafsiran para ulama, mereka berkata: Sesungguhnya Allah tidak menciptakan Adam dengan tangan-Nya dan arti dari tangan ialah kekuatan."[17]
e. Imam Al-Mubarakfuri
Dalam Tuhfat al-Ahwadzi (Syarah Sunan Tirmidzi) memberikan komentar atas pernyataan Jahmiyah bahwa itsbat sifat tangan merupakan tasybih, beliau berkata:
ولم يفهموا أن مجرد ثبوت اليد له تعالى ليس بتشبيه
"Dan mereka tidak memahami bahwa semata-mata itsbat/menetapkan (adanya sifat) Tangan bagi-Nya (Allah) Ta'ala bukanlah suatu bentuk tasybih (penyerupaan dengan makhluk)."
Lalu beliau bawakan perkataan Ishaq bin Ibrahim yang dinukilkan Imam Tirmidzi:
(إنما يكون التشبيه إذا قال يد كيد إلخ) هذا جواب عن قول الجهمية
"(Sesungguhnya tasybih atau penyerupaan itu baru terjadi apabila ia berkata 'tangan (Allah) seperti tangan (makhluk), dan seterusnya').
Imam Al-Mubarakfurimenutup dengan pernyataan “Ini adalah jawaban atas pendapat kaum Jahmiyyah."[18] Wallahu A'lam.
BAB III
A. KESIMPULAN
Ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat Al-Qur'an yang maknanya samar, khususnya yang berkaitan dengan sifat Allah, dan menjadi ujian keimanan bagi setiap Muslim. Sikap yang benar dalam menghadapinya akan menjaga kemurnian akidah dari Tasybih dan Ta'thil.
Dalam sejarah pemikiran Islam, muncul tiga metode utama untuk memahaminya:
- Tafwidh: menyerahkan makna hakikinya kepada Allah.
- Ta’wil: Memalingkan maknanya ke arti majazi yang layak bagi
- Itsbat: Menetapkan lafaz dan makna hakikinya tanpa bertanya "bagaimana" (takyif) dan tanpa menyerupakan.
Perbedaan utama di antara ketiganya terletak pada pendekatan terhadap "makna" sifat, meskipun semuanya bersepakat untuk mensucikan Allah dari penyerupaan dengan makhluk.
[1] Al-Qaththan, M. (2019). Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an (A. Rafiq, Trans.; 18th ed.). Pustaka Al-Kautsar.
[2] as-Suyuthi, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, ed. Muhammad Abul Fadhl Ibrahim (Kairo: Al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Āmmah lil Kitāb, 1974), jilid 3, hlm. 14.
[3] an-Nawawi, Al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadżdżab (Kairo: Idarah ath-Thiba'ah al-Muniriyyah, 1344-1347 H), jilid 1, hlm. 25.
[4] Abdul Somad, 37 Masalah Populer, hlm. 73.
[5] adz-Dzahabi, Siyar A‘lām an-Nubalā’, (Kairo: Dar al-Hadits, 2006), jilid. 7, hlm. 184.
[6] Hamka, 1001 Soal Kehidupan,(Gemas Insani), hlm. 34.
[7] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1 (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 80-81.
[8] Ibrahim al-Laqqani, Matan Jauharatut Tauḥīd, ed. Rami bin Muhammad Jurairin Sulhub (Kairo: Dar as-Salam, 2013), hlm. 10.
[9] al-Baijuri, Tuḥfatul Murīd Syarḥ Jauharatit Tauḥīd, ed. ‘Abdullah Muhammad al-Khalili (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), hlm. 104.
[10] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fatḥul Bārī Syarḥ Shaḥīḥ al-Bukhārī, ed. Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi dan Muhibbuddin al-Khathib (Kairo: al-Maktabah as-Salafiyyah, 1380-1390 H), jilid 3, hlm. 30.
[11] al-Baji, al-Muntaqā Syarḥ al-Muwaṭṭa’ (Kairo: Maṭba‘ah as-Sa‘ādah, 1332 H), jilid. 6, hlm. 274.
[12] as-Suyuthi, ad-Dibaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hajjaj, jilid 2, hal. 217.
[13] al-Lalika'i, Syarh Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah, (Riyadh: Dar Taybah, 1423 H/2003 M), Jilid 3, hlm. 441, riwayat no. 663.
[14] adz-Dzahabi, Siyar A‘lām an-Nubalā’, (Kairo: Dar al-Hadits, 2006), jilid. 7, hlm. 184.
[15] Al-Bukhari, al-Tarikh al-Kabir, (Riyadh: al-Nashir al-Mutamayyiz li-l-Tiba'ah wa al-Nashr wa al-Tawzi', 2019 M/1440 H), Jilid 1, hlm. 543, no. 623.
[16] Adz-Dzahabi, Al-'Arsy, (Madinah: Imadah al-Bahts al-'Ilmi bi al-Jami'ah al-Islamiyyah, 1424 H/2003 M), Jilid 2, hlm. 159.
[17] Disebutkan oleh Imam Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi, Kitab Zakat, Bab keutamaan sedekah.
[18] Al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), juz 3, hlm. 268.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Somad, 37 Masalah Populer.
Adz-Dzahabi, Al-'Arsy, (Madinah: Imadah al-Bahts al-'Ilmi bi al-Jami'ah al-Islamiyyah, 1424 H/2003 M).
adz-Dzahabi, Siyar A‘lām an-Nubalā’, (Kairo: Dar al-Hadits, 2006), jilid. 7.
al-Baijuri, Tuḥfatul Murīd Syarḥ Jauharatit Tauḥīd, ed. ‘Abdullah Muhammad al-Khalili (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.).
al-Baji, al-Muntaqā Syarḥ al-Muwaṭṭa’ (Kairo: Maṭba‘ah as-Sa‘ādah, 1332 H), jilid. 6.
Al-Bukhari, al-Tarikh al-Kabir, (Riyadh: al-Nashir al-Mutamayyiz li-l-Tiba'ah wa al-Nashr wa al-Tawzi', 2019 M/1440 H), Jilid 1.
al-Lalika'i, Syarh Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah, (Riyadh: Dar Taybah, 1423 H/2003 M), Jilid 3.
Al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), juz 3.
Al-Qaththan, M. (2019). Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an (A. Rafiq, Trans.; 18th ed.). Pustaka Al-Kautsar.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1 (Jakarta: Kencana, 2011).
an-Nawawi, Al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadżdżab (Kairo: Idarah ath-Thiba'ah al-Muniriyyah, 1344-1347 H), jilid 1.
as-Suyuthi, ad-Dibaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hajjaj, jilid 2.
as-Suyuthi, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, ed. Muhammad Abul Fadhl Ibrahim (Kairo: Al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Āmmah lil Kitāb, 1974), jilid 3.
At-Tirmidzī. 1975. Sunan at-Tirmidzī. Diedit oleh Aḥmad Muḥammad Syākir, dkk. Mesir: Syirkah Maktabah wa Maṭba‘ah Muṣṭafā al-Bābī al-Ḥalabī.
Hamka, 1001 Soal Kehidupan,(Gemas Insani).
Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fatḥul Bārī Syarḥ Shaḥīḥ al-Bukhārī, ed. Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi dan Muhibbuddin al-Khathib (Kairo: al-Maktabah as-Salafiyyah, 1380-1390 H), jilid 3.
