Tersesat Yang Disyukuri
Oleh : Yanti Novalia
"Dor
!"
Suara dengan tangan yang menepuk keras pundakku sukses membuat lisan yang
tengah menghafal ini mengucap dengan keras,
"Astaghfirullahal 'azhim" saking nyaringnya, beberapa kepala
santri menoleh ke arah kami, mereka yang sedang asik menghabiskan waktu
istirahat setelah menyetorkan hafalan qurannya di teras asrama banat
Pondok Pesantren Tahfizh Quran An Nashiriyyah, Bogor. Ada yang mengobrol sambil
mengunyah gorengan, ada juga yang sedang memurajaah hafalannya, termasuk aku.
Dengan warna merah padam menahan malu, ku isyaratkan meminta maaf dengan kedua
telapak tangan yang menyatu seperti di emoticon whatsapp walau
sebenarnya bukan begitu artinya.
"Hahahahahahaha" tawanya terbahak-bahak. Dia yang selalu puas ketika aku
berhasil menjadi target kejutnya. Ingin rasanya ku masukkan saja manusia tanpa
ada rasa berdosa ini ke karung kemudian lanjut ku lempar ke sungai Ciliwung
demi tegaknya kedamaian dunia.
Kupukul tangannya yang masih tertawa dengan penuh dendam,
"Terus terus, ketawa aja terus !" perintahku yang bermakna tahdid.
Sambil mengatur nafasnya yang tersengal dan tangan yang menyeka air mata
bahagianya, dia berkata, "Maaf maaf wkwk, lagian serius banget
ngafalnya"
Aku menghela napas panjang, mencoba melanjutkan hafalan.
"Bismillahirrahmanirrahim,
qul ya 'ibadiyalladzina asrafu,," lanjutku menghafal. Namun lagi-lagi, aku
harus berhenti karena Mala yang ingin bercerita.
"Bentar dulu atuh, aku teh mau cerita"
"Hadeuhh, cerita apa lagi sekarang?" Tanyaku dengan helaan
nafas yang sedikit panjang. Senyumnya lebar membuat tampak barisan giginya yang
dipagari dengan behel, lalu kemudian dia
mulai berbagi ceritanya,
"Tadi tuh si nadia nanya ke aku, kok kamu teh cuek banget gitu?
Padahal dia tuh pengen banget akrab gitu sama kamu sebagai kakak pembimbingnya."
"Lahh wkwk, terus kamu jawab apa mala ?", tanyaku dengan menahan
tawa. Tak menyangka seorang santri baru melontarkan pertanyaan tersebut pada
temanku, Mala. Setiap santri baru yang datang, maka dia akan diberi satu kakak
pembimbing sebagai tempat bertanya dan pemandu mereka pada segala aktivitas di
pondok. Itulah ketentuan yang telah dijalankan sejak dulu. Dan Nadia, santri
cantik dengan kedua mata yang sipit dari Jakarta, menjadi adik bimbinganku
selanjutnya. Alangkah kasihan nasibnya.
Mala yang ikut tertawa pun melanjutkan ceritanya,
"Yaudah aku jawab aja, 'yahh percuma nadia. Jangan berharap akrab sama dia
deh yang waktunya lebih banyak dia habiskan dengan Al Quran bahkan dibandingkan
bercanda dengan teman-temannya',"
Aku memandang wajah manis temanku dengan hiasan bola matanya yang bulat sambil
tersenyum, bagaimana mungkin dia bisa memberi jawaban demikian tentangku. Walau
di sisi lain, kesedihan menyergap seketika.
"Begitukah aku di mata mereka? Setidakpeduli itukah ?", ujarku dalam hati.
Mala yang masih
bercerita, membuat pikiranku tiba-tiba terbang ke masa lalu. Waktu itu, ada sebuah keputusan besar yang
dibuat oleh seorang anak SD hingga berhasil mengantarkannya ke sini. Terpaan
sejuknya angin sore lembut menyapa wajahku, seolah mengajak untuk mengenang
kembali langkah pertamaku memilih pesantren.
♧♧♧
"teng teng"
Bel tua sekolah berbunyi dengan kencang. Para murid kelas 6 SDN Suka Tani mulai
membereskan buku dan alat tulis mereka yang di atas meja ke tas masing-masing.
Beranjakku meninggalkan kelas yang masih menyisakan beberapa orang yang
melanjutkan hidupnya dengan berbagi berita hangat. Jangan tanya, tertarik saja
ku tidak.
"Rah tunggu aku!"
Langkahku terhenti. Ezra, temanku berambut pendek dengan sedikit ikal berlari
ke arahku.
"Kenapa ja?" Tanyaku. Oh iya, aku dan yang lain memanggilnya dengan
"Eja". Lebih mudah saja jika dibandingkan menyebut dengan nama
aslinya. Walau begitu, aku tak memaksa kalian setuju pada opini kami.
"Kenapa kamu gak ikut daftar tadi? Kan enak sekolah bantu ngurusin,
apalagi dengan NEM segitu, gampang banget buat kamu masuk SMPN 6",
tanyanya dengan penuh keheranan padaku yang tersenyum melihatnya.
Setelah pengumuman para peraih NEM yang berada di atas rata-rata, Wali kelas
memberitahu bahwa ada peluang untuk masuk SMPN 6 kepada mereka yang namanya
disebutkan pada pengumuman tadi. Dan dengan sangat senang, pihak sekolah akan
ikut andil untuk membantu proses para siswanya melanjutkan pendidikan ke SMPN
favorit tersebut. Girang bahagia tak terelakkan bagi mereka, tapi tidak padaku.
Bukan berarti sedih juga yang tersimpulkan karena dasar mafhum mukhalafahnya
:). Biasa saja begitu.
"Aku mau masuk pesantren ja, jadi keknya gak dulu deh masuk negeri
hehe", jawabku singkat.
"kok keknya?",
tanyanya lagi dengan kerutan yang terbentuk pada dahinya dan kedua tangan yang
bersedekap.
"Siapa yang tau rencana Allah, Ja haha" jawabku meninggalkannya yang
masih berada dalam tanya. Aku ingin berbagi cerita padanya, perihal raguku.
"Tapi gak sekarang ja, nanti aja. Cukup kamu tau bahwa aku masih aku yang
baik-baik saja", gumamku dalam hati.
♧♧♧
Brum brum
Pulangku dari TPQ sore bersama lalu lalangnya mobil, motor, juga anak-anak yang sedang bermain. Indahnya
senja dengan hembusan angin yang menyejukkan menyentuh wajah khawatir ini. Mengikuti
langkah seorang bapak-bapak berpakaian jubah putih lengkap dengan peci dan sorban,
aku berjalan di belakangnya sambil berdoa,
"Ya Rabb, mudahkanlah inginku"
Berhenti langkahnya, maka berhenti juga langkahku. Rupanya yang menjadi tujuan telah berada di
depan mata. Rumah besar tak bertingkat dengan cat putih yang dipagari dari
kedua sisinya, menyisakan bagian tengah untuk pintu besi dengan bel. Lengkap dengan sebuah
garasi dan isinya yaitu sebuah mobil putih, dua motor matic, dan satu motor
trail.
"Assalamu'alaikum" salam beliau sambil menekan bel. Salam bersambut
dari pemilik rumah dengan anggota keluarganya yang memang tengah bersantai
menikmati berita pada televisi. Pintu kemudian terbuka.
"Eh pak ustadz, kirain siapa. Oh sama farah juga, silakan masuk pak
ustadz" kata seorang ibu yang membuka pintu. Dia adalah istri si pemilik
rumah.
Dengan isyarat, seolah ibu tadi bertanya padaku,
"Ada apa sampe pak ustadz ke sini?"
Ya, perkenalkan beliau adalah guruku di TPQ. Guru yang sangat kuhormati dan
kusayang setelah kedua orangtuaku tentunya. Beliau yang mengenalkanku pada
huruf-huruf hijaiyah hingga aku bisa membaca Al Quran. Beliau adalah seorang
penyayang yang tegas. Mendidik dengan penuh sabar dan kasih. Sangat tak
menyukai kata "libur" apalagi dengan "izin yang tak
beralasan".
Misalnya saja ketika angka pada kalender menunjukkan warna merah karena adanya
peringatan dari agama tertentu dan para muridnya bertanya, "libur gak, Pak
ustadz? Kan tanggal merah"
Pertanyaan berbalas pertanyaan pula.
"Memangnya kalian teh ikut merayakan gitu?"
Tak heran bukan, jika aku jadi sangat mengagumi dan menyayanginya^^.
Kembali pada kebingungan ibu yang bertanya, aku bergumam pelan, "Nanti
mama juga tau", sebelum perlahan berjalan masuk ke dalam kamar dengan
masih membawa kekhawatiran yang belum sempat kuungkapkan.
♧♧♧
"Mama mah setuju aja kalau emang mau mondok, tapi kakak udah yakin banget
nih mau mondok seperti kata pak ustadz tadi?", tanya mama padaku. Aku dipanggil "kakak" karena aku adalah
kakak dari seorang adik perempuan yang
berada satu tahun di bawahku. Bukan berarti aku adalah anak pertama. Aku
juga memiliki seorang abang yang berada tiga tahun di atasku. Sederhananya ,
aku adalah anak tengah.
Setelah kurang lebih 1 jam berdiskusi mengenai
masa depan bocah yang memilih bersembunyi ke kamarnya ini, akhirnya pak ustadz
berpamitan untuk pulang.
"sekian dari saya, pak, bu. Tapi jika memang farah tetap mau mondok, saya
doakan agar Allah mudahkan", closing statement dari beliau yang
mama ceritakan padaku.
Perasaan haru meruak ke hatiku, seolah terasa ada sesak dalam dada hingga aku
hampir saja menitikkan air mata. Melihat guruku yang sampai datang ke rumah
hanya untuk menyampaikan kekhawatirannya padaku yang memilih melanjutkan
pendidikan ke pondok.
Aku sangat mengerti rasa khawatirnya, melihat bagaimana anak perempuan
pertamanya yang baru saja memilih keluar dari pondok karena tak betah,
membuatnya tak ingin hal yang sama juga terjadi padaku. Tapi kan, ini inginku. Berbeda
dengan kak vivi –anak beliau- yang mondok bukan karena keinginannya sendiri. Yap, ayahnya yang
meminta.
"Insya allah maa, kakak emang pengen banget mondok kok", jawabku
meyakinkan ibu negara ini. Juga ada bapak negara di sana yang masih
mendengarkan. Tak banyak cakap memang, karena setujunya ibu negara maka sudah
otomatis termasuk setujunya.
"Bukan takut, tapi papa sayang nyawa papa", begitu katanya ketika
kerap kali ditanya kenapa papa selalu setuju dengan pendapat mama.
"Memangnya kenapa kakak tiba-tiba pengen mondok?
bukannya kemaren-kemaren malah pengen masuk SMPN? ", Tanya mama lagi, kali
ini dengan sedikit keheranan di wajahnya. Akhirnya, dengan penuh semangat
kuceritakan pada mereka latar belakang yang tiba-tiba melandasi keinginanku
ini.
♧♧♧
"lanjutkan ayat berikut ini, lan tanaalul birra
hatta tunfiquu mimmaa tuhibbuun…"
"lan taalul birra hatta tunfiquu mimmaa tuhibbun.. wa
maa tunfiquu min syay’in fainnallaha bihi ‘aliim…", yang ditanya
meneruskan ayat tersebut. Di layar tv tertera di sana, QS Ali ‘Imran ayat 92.
Dia adalah seorang anak laki-laki yang Allah pilih menjadi salah satu hamba-Nya
yang spesial. Bagaimana tidak, dia dapat menghafal 30 juz al quran dengan
keterbatasannya yang mengidap lumpuh otak. Aku merasa kagum dan iri dalam waktu
yang sama. Dia yang dengan keterbatasannya, bisa mencapai sesuatu yang begitu
mulia. Sedangkan aku? Apa yang sudah kulakukan selama ini ?
"hafizh cilik, cinta al quran", seru pembawa acara, menandakan layar tv akan
berganti dengan iklan. Siang sepulang sekolah, aku menonton tv di ruang
keluarga sendirian. Papa mama yang berkerja, adikku yang tertidur di kamarnya,
dan abangku yang belum pulang sekolah, membuat aku merasa sendiri di rumah. Dan
aku memilih menonton tv untuk mengisi kegabutan. Layar kaca menampilkan reality
show, semacam lomba tahfizh, ketika aku menekan tombol on pada
remote tv. Lantang dan merdunya si anak laki-laki tadi ketika membaca al quran,
membuatku terpaku. Jari yang sudah siap untuk menukar channel seperti yang
biasa kulakukan untuk melihat ada tayangan tv apa saja hari ini, berhenti tak
bergerak. Aku yang masih takjub, tanpa sadar membuka browser di ponsel dan
mengetik,
"apa manfaat hafal al quran?"
Situs website paling
atas kupilih. Isinya adalah,
"Keutamaan di akhirat : penghafal al quran akan
dipakaikan mahkota dan jubah kemuliaan serta keridhaan Allah padanya, dapat
memberikan syafaat kepada keluarganya, menjadi bagian dari keluarga Allah di
akhirat…", dan seterusnya.
Hatiku berdesir membaca keutamaan-keutamaan
itu. Alangkah bahagianya jika aku bisa meraihnya.
"Aku ingin menjadi salah satunya dari mereka yang
terpilih, Ya Rabb", ujarku dalam hati
yang masih takjub.
Tapi kemudian muncul
pertanyaan, "apakah aku bisa?"
Lucunya, aku langsung
menepisnya, "Dia saja bisa, masa aku
tidak bisa?"
Lalu muncul lagi
pertanyaan di benakku, "bagaimana caranya ?"
Tak menunggu lama, kusalin
lagi pertanyaan pada kolom pencarian di browser,
"Mondok di pondok pesantren", adalah salah satu dari jawabannya.
♧♧♧
Selesai kubercerita. Mama memalingkan wajahnya ke papa cukup lama, seolah
meminta pendapatnya. Sementara aku menunggu dengan jantung berdebar.
"Okeee, kalau kakak emang udah yakin, hari ahad nanti kita liat-liat
pondok yaaa", kata papa dengan senyumnya yang indah, melegakan hatiku.
Itulah raguku, Ja.
Meski hatiku sudah mantap, ada sesuatu yang berat ketika inginku ternyata tak
sejalan dengan ingin guru yang sangat kusayangi. Akankah beliau kecewa padaku
jika pada akhirnya aku tetap memilih untuk mondok ? Dan siapkah aku untuk itu ?
♧♧♧
"Gak jadi lah maa, gak jadi", kataku
segera sebelum mama benar-benar mendaftarkanku di pondok pesantren besar ini.
"Lagi ? Sekarang kenapa kak?", tanya mama dengan nada sedikit
menengah ke atas, matanya memandangku seolah meminta penjelasan yang masuk
akal. Masih dengan posisi duduknya di atas kursi antrean registrasi Pondok
Pesantren Darul Qura. Hanya tinggal 2 kursi lagi untuk sampai ke depan petugas
pendaftaran. Setelah sebelumnya menjelajahi berbagai macam pondok pesantren
yang ada di kota hujan ini, tak ada
satupun yang sreg olehku. Yap, hari ahad yang dijanjikan papa tiba. Mama dan papa yang menemani hanya
bertanya-tanya dalam diam,
"Apa sih yang dicari anak ni?!"
Jadi tak heran bukan mama bertanya dengan
nada yang sedikit tinggi haha, yaa walau alhamdulillah tak sampai marah.
Aku tahu, aku yang memutuskan untuk mondok,
tapi setelah menjelajahi beberapa pesantren, perasaan tak nyaman tetap saja
mengganjal. Satu demi satu alasan bermunculan di kepalaku. Membuatku jadi bertanya-tanya pada diriku sendiri,
"mungkinkah aku yang belum benar-benar
siap untuk mondok?"
Dengan memelas, aku menjawab,
"Pertama, jauh banget maa dari rumah. Kedua, banyak banget santrinya,
kalau kakak nanti malah gak kekontrol gimana. Ketiga, wajib bahasa Arab, kakak
gak suka bahasa Arab."
Jangan tertawa. Al Quran memang berbahasa Arab, tapi kan beda gitu.
Dengan pasrah, mama mengajak aku keluar dari gedung besar yang sejak tadi
dipadati dengan ribuan santri baru. Ada yang membawa kasur, menenteng ember
dengan peralatan mandi, menangis sesenggukan dan drama lainnya. Ternyata kami datang di hari terakhir
pendaftaran sekaligus hari pertama masuk santri baru. Drama yang kulihat
menambah kebimbangan di hatiku.
Papa yang sedang asik bercengkrama dengan 3 orang bapak-bapak yang tak kukenal,
melihat kami dengan tanya,
"Udah aja? Cepat amat?"
"Gak jadi, anaknya gak mau, pulang aja lagi pa", ajak mama ke arah
mobil putih yang terparkir tepat di barisan paling depan area parkir. Saat
berjalan menuju mobil, aku merasa campur aduk. Lega karena tidak harus mondok
di tempat yang tidak kusukai, tapi juga sedikit kecewa pada diriku sendiri,
"Apa yang sebenarnya kucari?"
Pamit papa pada yang teman-teman barunya, kemudian ikut menyusul kami.
Today’s search failed.
♧♧♧
"Tapi kok beda sama brosur yang dikasih
pak yayat ya pa?", Heranku pada brosur pondok pesantren yang
dikasih papa.
Papa menoleh sekilas, lalu menjawab sambil tertawa kecil,
"Oh iya? tapi bagus kok pondoknya, adem
tapi banyak nyamuk kayak hutan haha", sambil menuju ke singgasananya, lalu
duduk dan menekan tombol on pada remote tv.
It's
his time to watch the news.
Masih di hari yang sama, setelah tiba di rumah tepat saat azan zhuhur
berkumandang tadi, aku langsung tertidur pulas di kamar. Penat menguasai
tubuhku, padahal bukan aku yang mengemudi. Tidur terasa begitu nikmat sampai
ketika mama membangunkanku untuk shalat ashar dan lanjutnya bertanya,
"Kakak mau ikut papa survei ke pondok yang kemaren dikasih tau pak yayat
gak?",
"Gak ah ma, capek banget serius, papa aja gitu", jawabku sambil
menggeliat malas, masih dalam posisi tidur. Mataku setengah terbuka, tubuhku
terasa terlalu berat untuk bangkit.
"Pondok Pesantren An Nashr". Begitu yang tertera pada brosur
pemberian pak yayat, guru pelajaran agama islam di sekolah. Kemarin ketika mama datang ke sekolah untuk
menerima surat kelulusanku, mama bilang padaku kalau beliau ingin meminta saran pondok
untukku setelah acara selesai pada pak yayat.
Letak pondok tersebut berada di daerah kampung dengan sebutan
"Pagentongan", dan papa yang mengetahui hampir seluruh daerah di kota
Bogor bertanya-tanya keheranan karena belum pernah mendengar nama kampung itu.
Ya namanya juga hampir, bukan seluruh. Karena takut tersesat, akhirnya papa mengajak
abangku untuk menemaninya. Dan tepat 10 menit sebelum muadzin mengumandangkan
adzan maghrib, papa dan abang pulang.
"SMP Tahfizh Quran An Nashiriyyah". Justru begitu yang tertera pada brosur
yang didapat papa setelah survei dari sana. Isi, gambar, administrasi, semuanya
berbeda.
"Ahh, mungkin beda tahun beda brosur", pikirku. Dan setelah
kuperhatikan kembali ternyata keduanya dengan tahun yang sama. Jelas, papa salah alamat.
Brosur itu sederhana,
hanya dilipat tiga, tapi mataku langsung tertuju pada program capaian di halaman
pertamanya yang langsung menarik perhatianku.
"Hafal 30 Juz",
seketika rasa penasaran menggugahku.
Lanjutku membaca
halaman demi halaman brosur yang terasa semakin menarik.
"bagaimana ini?! Semuanya aku suka", seruku dalam hati. Mulai dari program capaian,
jadwal kegiatan harian yang lebih banyak berfokus pada menghafal dengan tetap
ada jadwal sekolahnya, hingga rincian biaya administrasi yang insya allah
terjangkau oleh orangtuaku. Kalau aku, tentu tidak wkwk. Mungkin ini bukan
kesalahan. Justru semuanya di brosur ini terasa pas bagiku. Tanpa pikir
panjang, segera ku hampiri mama yang sedang memasak makan malam di dapur, dengan
tangan membawa brosur, dan seruku penuh semangat,
"Ma, kakak mau mondok di
sini"
♧♧♧
"Bentar maa, dikit lagi", seruku pada
mama dari dalam kamar. Sore ini, setelah mama papa pulang bekerja dari pasar,
mereka mengajakku untuk survei ke An Nashiriyyah. Padahal sudah
kukatakan dengan sangat meyakinkan bahwa aku tak akan menyesal bahkan tanpa harus
kudatangi dan melihat-lihat dulu pondok tersebut. Tapi mereka tetap bersikeras.
"liat dulu biar lebih yakin", kata
mama kemarin malam, dan seperti biasa papa hanya mengangguk setuju.
Aku menghela napas, berdiri mematung di depan lemari. Mataku tertuju pada
bagian atas lemari, di mana setengahnya dipenuhi dengan kerudung yang tersusun
rapi. Aku sudah siap sebenarnya dengan setelan baju kaus lengan panjang
berwarna biru dan celana jeans berwarna senada. Hanya saja, aku yang memang
belum berkerudung ini merasa aneh. Mama sudah menunggu di luar, dan aku masih
ragu.
"pake kerudung gak, ya?"
♧♧♧
"Beneran ini pondoknya pa? Di mana?",
mataku mempertanyakannya sambil memperbaiki kerudung yang akhirnya kukenakan.
Halaman pesantren ini luas, hampir satu hektare, dengan deretan pohon ketapang
yang membuat tempat ini terasa sejuk. Hanya menyisakan bagian kecilnya untuk 2
rumah berwarna ungu muda yang memanjang dan sebuah mushalla kecil di
belakangnya. Memang benar kata papa, seperti hutan.
"Iyaa, kan ada papannya tu", jawab papa santai sambil menunjuk papan
besi dengan tulisan nama pondok tersebut.
Kemudian aku turun dari motor setelah mama yang di belakangku turun. Yap, kami
bertiga dengan satu motor matic hitam papa. Kalau kata papa, biar cepat.
Pergi kami bersama ke bagian teras salah satu depan rumah tersebut. Sebelah
kiri tepatnya. Kata papa disitu rumah kyainya. Aku percaya. Karena di rumah
sebelah sana tak ada sofa dan meja tamu.
"sepi banget", gumamku menangkap
hanya ada tiga, empat santri putri yang tengah asik mengobrol pelan di sudut.
Rasanya ini terlalu sepi untuk sebuah pondok pesantren.
"oh iya papa belum kasih tau kemaren, pondok ini baru
berdiri satu tahun yang lalu. Berarti , kalau kakak jadi masuk, kakak masuk
angkatan ke-2", jelas papa padaku.
Pantas saja kalau
begitu. Heranku terjawab.
"nah, sebelah sana asrama perempuannya, kalau asrama
yang laki-laki ada di belakang",lanjut papa sambil
mengarahkan telunjuknya pada bangunan rumah yang satu lagi.
Papa mengucapkan salam, dan tak berselang lama keluarlah seorang ibu-ibu dengan parasnya yang cantik dan kaca mata berwarna
hitam. Gamis sederhana berwarna cokelat juga kerudung berwarna hitam membaluti tubuhnya yang setinggi mamaku.
"Wa'alaikumussalam Warahmatullah Wabarakatuh, oh bapak yang kemarin
kan?", jawabnya.
"Iya bu, ini saya bawa anaknya sekarang. Biar dia liat-liat dulu
gitu", ujar papaku sambil memegang kedua pundakku. Aku hanya bisa
tersenyum tipis, masih berusaha menyesuaikan diri dengan tempat ini.
Ibu itu melihat ke arahku, mencondongkan tubuhnya ke depan hingga wajahnya kini
berada di depan wajahku.
"Masya allah, namanya siapa nak?", tanyanya padaku dengan senyum yang
merekah, semakin membuat cantiknya lebih jelas di mataku.
"Farah bu", kataku sambil membalas senyumnya dengan kaku.
♧♧♧
"ohh, pagentongan. Ustadz dulu mondok di sana, An Nashr
tapi. Kalau An Nashiriyah baru denger. Baru ya ? ", Tanya pak ustadz
padaku.
Sore itu, setelah
selesai mengaji, pak ustadz memanggilku. Beliau ingin memastikan kembali rencanaku
untuk mondok. Sebelum beliau memanggilku, sebenarnya sudah lebih dulu aku
berencana untuk memberitahunya. Cuma ternyata aku kalah cepat. Dan dengan hati
yang takut dan wajah yang berusaha meyakinkan, ku katakan padanya,
"insya allah farah sudah yakin pak ustadz,
semakin mantap setelah bertemu umi pondok dan mendengar penjelasannya".
Setelah penjelasan yang cukup panjang dari ibu
pengasuh pondok kemarin mengenai sistem dan target hafalan yang diterapkan
pondok yaitu 3 tahun 30 juz, juga sistem akademik di sekolahnya, dan berbagai
ketentuan di pondok, membuatku semakin mantap untuk mondok di sana. Kemarin
juga mama mengisi formulir pendaftaran untukku. Setelahnya, ibu pondok yang
dipanggil dengan sebutan "umi" oleh para santrinya, juga mengingatkan
bahwa tanggal 7 Juli nanti, adalah jadwalku untuk masuk sebagai santri baru di
pondok.
Terdiam pak ustadz sejenak, menatap ke lantai dengan pandangan yang
tenang setelah selesai mendengarkan ceritaku. Wajahnya yang bijak nan teduh
seolah sedang merenung sebelum memberikan jawaban. Aku yang menanti
dihadapannya hanya bisa terdiam juga walau dengan jantung yang berdegup
kencang.
"Apa
kira-kiranya jawab pak ustadz? Kenapa beliau diam saja? Apakah
keputusanku telah mengecewakannya?", berisikku dalam hati
yang bergemuruh.
Seakan mendengar
tanyaku, pak ustadz pun mengangkat wajahnya dan berkata dengan lembut,
"kalau memang anak pak ustadz ini sudah yakin dengan
pilihannya, pak ustadz do’akan semoga Allah mudahkan dalam menghafal al qurannya
di sana. Semoga betah. "
Hatiku menghangat mendengar doanya. Kedua mata
yang memancarkan ketulusan layaknya seorang ayah pada putrinya membuat mataku
yang sedang menatapnya berkaca-kaca. Haru dan lega berhasil menguasai diri ini.
Ridhanya telah kudapat, sehingga kini tak ada lagi yang mengganjal hati.
"Alhamdulillah, terima kasih banyak pak
ustadz. Terima kasih juga atas segala ilmu yang pak ustadz ajarkan ke farah.
Bertemu pak ustadz adalah salah satu yang sangat farah syukuri sampai sekarang bahkan
akan terus berlanjut sampai nanti insya allah", ujarku padanya sambil
menahan air mata yang sedari tadi memaksa keluar dari tempatnya. Untungnya,
berhasil kutahan.
♧♧♧
"weh, weh, FARAH!"
"ahh naon si, gandeng mulu maneh mah", kesalku meloncat pada Mala yang karenanya lamunan
indahku buyar seketika.
"atuh, urang teh malah
ditinggalkeun bari ngalamun. Jajan yok ka kantin beuteung geus rek menta diisi
yeuh" katanya sambil menarik tanganku untuk berdiri. Mala,
sahabatku yang selalu energik, tak pernah bisa menahan diri untuk menganggu
ketika melihatku terlalu tenggelam dalam lamunan. Sejak pertama kali aku mulai
mondok, dia selalu berusaha menarikku keluar dari dunia tenang ini.
"gak lah, sok kamu aja", kataku sambil kembali membuka al quran. Memberi isyarat
bahwa aku ingin melanjutkan menghafal yang tadi terputus karenanya.
"geuslah, ya allah sabar sabar urang
mah", katanya sambil pergi meninggalkanku.
Aku hanya membalasnya
dengan tawa yang sedikit terbahak-bahak.
Lamunan indah itu kembali melintasi. Paham bukan, kenapa
aku sedemikian berusaha untuk menghabiskan waktu dengan menghafal al quran?
Ya, karena sesuatu yang
tak mudah itu, ternyata bisa kudapat karena kuasa dan kasih-Nya .
Terlalu bodoh jika
kusia-siakan kesempatan menghafal al quran di pondok yang telah diberikan
oleh-Nya dengan tidak berusaha semaksimal mungkin untuk menggunakannya dengan
baik.
Senja perlahan meredup, langit mulai beranjak
gelap, memeluk bumi dengan kelembutan malam yang tenang. Cahaya jingga terakhir
menyapa sebelum bintang-bintang mengambil alih panggung langit. Kututup al
quran, dan segera pergi untuk berwudhu.
THE END
0 Komentar