Kesucian Yang Ternodai
Mentari sore perlahan tenggalam ketika Steven melangkah masuk ke
sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Langit mendung berawan bertanda hujan akan
turun, dengan perlahan ia mendorong pintu cafe dan segera melangkah menuju meja
kasir. Di balik meja, seorang waiters cantik berbalut jilbab coklat panjang yang
menutup setengah badannya tersenyum ramah. Steven hanya mengangguk singkat, tanpa
banyak bicara. Ia malas berinteraksi.
“Coffe Latte, satu,” ucapnya datar.
Lidya, sang waiters, dengan cekatan memasukkan biji kopi ke Electric
Grinder, lalu memasasukkan hasil gilingan biji kopi ke portafilter
dan memasangkan ke mesin espresso.
Di sudut lain, telinga Steven menangkap suara percakapan yang
terdengar samar-samar: “Pemimpin... kotor... dinasti.”
Sembari menunggu kopinya, telinganya menangkap lebih jelas
percakapan tersebut. Lidya sedang berbicara dengan seorang pelanggan lain,
wajahnya serius tapi penuh kelembutan.
“Di kampus saya dulu, pemilihan Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan
(HMJ) Matematika selalu jujur,” ujar Lidya sambil menuangkan kopi yang telah
selesai ia buat kedalam cangkir. “Sampai akhirnya, ketua HMJ yang sedang
menjabat mulai bermain kotor. Dia telah menyiapkan calon penggantinya,
mengancam anggota kabinetnya yang tidak setuju dengan keputusan tersebut, dan
itu dibahas dalam rapat resmi. Sejak saat itu, HMJ yang dulu bersih berubah...
Kami tak bisa percaya siapapun lagi.
Steven merasakan punggungnya menegang. Cerita Lidya seakan
memanggil ingatannya. Bukankah hal yang sama sedang terjadi di sekolahnya
sekarang? Pemilihan ketua OSIS masih beberapa pekan lagi. Tapi rumor beredar,
bahwa Agus ketua OSIS saat ini, sudah menyiapkan calon penggantinya.
Awalnya Steven tak terlalu peduli, sampai minggu lalu, ketika ia
tidak sengaja lewat depan gudang yang berada di ujung sekolah, dulunya
merupakan kelas.
Ketika akam mendorong pintu gudang ia mendengar suara orang sedang
berdiskusi, perlahan ia mencari celah untuk mengintip. Karena sejak menjadi
gudang, ruangan tersebut diberikan gorden agar tidak terlihat langsung dari
luar, dari celah sempit di ujung jendela ia melihat para anggota OSIS sedang
berkumpul.
Ia merasa aneh, sebab OSIS punya sekretariat mewah di lantai dua
sekolahnya. Tapi kenapa mereka memilih rapat di gudang yang berada di ujung
sekolah”, gumam Steven di dalam hatinya. Sayup-sayup ia mendengar suara Ketua
Osis berkata kepada yang lain.
"Kami BPH sudah sepakat menunjuk Ahmad dan Wira untuk maju
sebagai Ketua dan Wakil Ketua OSIS berikutnya," suara Agus terngiang di
telinganya.
Lidya menghela napas panjang sebelum beranjak mengantarkan pesanan
Steven sambil berujar, “Kesucian yang ternodai itu sulit dipulihkan. Tapi
kalau tak ada yang berani menentang, maka kebenaran akan terus dikubur”.
Kata-kata itu menembus kepala steven seperti petir di siang bolong.
Ia segera menyeruput habis kopinya dengan tangan gemetar dan segera melangkah
keluar.
Di sepanjang jalan pulang, pikirannya tak berhenti berpikir. Ia,
yang selama ini tak pernah peduli, tiba-tiba merasa marah. Bukan kepada
pengurus OSIS, tapi pada dirinya sendiri karena telah membiarkan hal-hal ini
terus terjadi di depan matanya.
♧♧♧
Keesokan harinya, Steven duduk di pojokan ruang redaksi Majalah
Sekolah, ruangan yang asing baginya. Ia menatap sekeliling, meja-meja kayu
panjang berjejer rapat, dijejali tumpukan kertas, majalah edisi lama, dan
buku-buku referensi yang berserakan. Dindingnya dipenuhi papan gabus yang penuh
dengan tempelan warna warni, disana tertulis jadwal redaksi serta nama-nama
penanggung jawabnya.
Sinar matahari sore menerobos jendela kaca, menyinari Steven yang
sedang duduk dengan ragu di hadapan Mahira, sahabatnya sekaligus Direktur
Majalah Sekolah.
“Gua mau nulis sesuatu untuk diterbitkan Majalah Sekolah,” ujar
Steven tiba-tiba, memecah keheningan.
“Nulis? Lu? Nggak salah denger gua nih?” Mahira tertawa kecil,
setengah becanda. Steven, anak malas yang lebih sering tidur di kelas,
tiba-tiba ingin menulis? Ini benar-benar aneh.
“Tentang pemilihan ketua OSIS. Ada yang enggak beres,” jawab Steven
tegas. “Gua mau kasih tau semua orang.”
Mahira terdiam, senyumnya memudar lalu menatap serius wajah
sahabatnya. Ia tahu ada yang serius di balik suara Steven.
“Emang lu mau nulis apa?” tanya Mahira lebih serius.
“Agus dan kabinetnya bermain kotor, menyipkan dinasti politiknya,
ngancam anggota OSIS yang tidak setuju dengan keputusannya. Gua gak punya bukti
yang bisa gua tunjukin, tapi gua dengar sendiri dengan telinga gua mereka rapat
terkait itu di gudang ujung sekolah”. Ujar Steven dengan tubuh bergetar.
Mahira dengan kening berkerut bertanya, “dinasti politik bagaimana
?”
“Ia, mereka sudah menyiapkan siapa calon yang bakal maju di
pemilihan ketua OSIS selanjutnya, di rapat resmi mereka.” Jawab Steven.
“Terus masalahnya di mana Steven? Kan, Cuma menyiapkan calon yang
bakal maju doang.” Mahira kembali bertanya.
“Duh Mahira, lu Direktur Majalah kok pikiran lu tumpul sih? Gak
bisa membaca rencana yang tersembunyi. Gua jelasin pake contoh yang sederhana
ya.” Steven mulai menjelaskan.
"Di sebuah sekolah, akan diadakan
perlombaan akademik antar pelajar. Para petinggi sekolah dan guru mengadakan
rapat untuk membahas ini. Di pertengahan rapat, diputuskan si A, siswa yang
dianggap paling layak untuk menang, wajib mengikuti lomba tersebut. Keputusan
ini diambil berdasarkan kesepakatan para guru dan petinggi sekolah.”
“Si A dikenal sebagai siswa yang patuh dan
taat, sehingga mudah di atur. Selain itu ia dekat dengan mayoritas guru. Tak
heran jika para guru menaruh harapan besar padanya.”
Mahira mengangguk pelan, menyimak penjelasan
Steven.
“’Si A adalah yang terbaik di antara yang
terbaik,’ kata Kepala Sekolah dengan penuh keyakinan. 'Ia pasti akan menang
sesuai harapan kita, dan menjadi murid percontohan bagi yang lain.’”
Para guru pun dengan semangat mempersiapkan si
A sebaik mungkin untuk menghadapi lomba. Mereka memberikan bimbingan belajar
tambahan dan motivasi agar si A bisa meraih juara.
Namun, murid-murid lain yang mendaftar menjadi
peserta tidak mendapatkan keistimewaan itu, tidak ada perhatian khusus dari
para guru.
“Mahira,” coba kamu bayangkan. Jika ini sebuah
lomba yang jujur, seharusnya semua diperlakukan sama, tidak hanya si A.
Tapi kondisinya Si A sudah diistimewakan sejak
awal. Para guru seolah-olah telah menetapkan si A sebagai pemenang sebelum
lomba dimulai. “Apa gunanya lomba ini diadakan kalau pemenangnya sudah
ditentukan dari awal?"
“Sudah kebayang gak maksud gua ?” tanya Steven
untuk memastikan Mahira paham.
Steven melanjutkan penjelasannya, "Jika
seandainya si A bakal kalah, apa yang akan dipikirkan para guru dan petinggi
sekolah? Pasti mereka kecewa, kan? Merasa gagal mendidik murid kesayangan, iya
kan? Apalagi lawannya anak baru pindahan dari sekolah lain, yang baru masuk
sebulan yang lalu."
"Menurutmu, apakah guru akan tinggal diam,
atau ada peluang mereka bermain curang untuk memenangkan si A?" tanya
Steven memancing Mahira.
“Tentu bakal ada peluang guru bermain curang,
apalagi di kepanitian ada guru dan jurinya pun para guru” jawab Mahira dengan
wajah yang susah dijelaskan.
Steven melanjutkan, “Para Guru disini ialah anggota OSIS yang menjabat sekarang,
panitia lomba adalah KPU yang bakal mengurus pemilihan, disana ada guru
(Pengurus OSIS) yang jadi anggota KPU, yang mana mereka bisa bermain kapan
saja. Dan pastinya si A ialah Ahmad dan Wira.”
“Lu yakin mau publish ini?” Mahira bertanya.
“Ini bakal bikin heboh, dan... gue nggak tahu, sih, mungkin kami Majalah
Sekolah bakal kenak masalah dan terutama lu pasti bakal dihabisin anak OSIS.”
Steven mengangguk pelan. “Biarin. Ini nggak
bisa dibiarkan.”
♧♧♧
Malam itu, Steven tidak bisa tidur. Bayangan
tulisan yang ia buat terus menghantuinya. Rasa takut mulai merasuki dadanya
“Bagaimana kalau tulisannya tidak dipercaya? Bagaimana kalau Agus dan anak-anak
OSIS lain tahu siapa yang menulisnya? Meskipun namanya ia samarkan disana.
Setiap keraguan muncul, ia teringat wajah Lidya
saat bercerita di kafe. Kesucian yang ternodai. Jika dia tidak melakukan
sesuatu, siapa lagi?
Besok harinya, majalah sekolah
terbit dengan judul
"Kesucian yang Ternodai" terpampang
besar di setiap mading sekolah. Sontak,
seluruh sekolah gempar.
Di kelas-kelas, di
lapangan, di kantin,
semua orang membicarakan
tulisan di mading sekolah
yang mengungkapkan kecurangan
Agus dan kabinetnya."Gila, berani
banget yang nulis
artikel ini!"
"Beneran
nggak, sih, OSIS
main kotor gitu?"
"Kalo
bener, parah banget,
dong!"
Bisik-bisik
terdengar di mana-mana.
Beberapa siswa bahkan
mulai berani menyuarakan
ketidakpuasan mereka terhadap
OSIS. Di depan mading, Agus berdiri dengan
wajah merah padam,
matanya menyala-nyala marah.
Ia meremas Majalah
Sekolah di tangannya,
giginya gemeletuk.
"Siapa
yang berani menulis
artikel ini?!" geramnya.
Agus berjalan dengan
langkah tegas. Ia
menuju sekretariat OSIS,
diikuti oleh beberapa
anggota kabinetnya yang
juga berwajah tegang.
Di sana, mereka
berkumpul dan berdiskusi
dengan suara lirih,
merencanakan sesuatu untuk
mengatasi krisis yang
sedang mereka hadapi.
♧♧♧
Saat pulang sekolah, Steven melangkah dengan
cepat dan penuh waspada. Di belakang, ia merasakan tatapan tajam Agus dan
pengurus OSIS yang lain. Tapi di hati, ia merasa sedikit lega karena satu
persatu siswa mulai terbuka matanya dengan keadaan yang terjadi.
Ketika Steven kembali ke Kafe sore itu, Steven
tersenyum kepada Lidya.
Dengan sedikit keheranan melihat sikap tidak biasa Steven yang tersenyum. Ia
bertanya, “Bagaimana ada kabar baikkah?”
"Kesucian masih ternodai," jawab
Steven, "tapi sekarang lebih banyak yang peduli."
Lidya tersenyum, meskipun tidak paham arah
pembicaraan steven. Sejenak, Steven merasakan bahwa ia telah mengambil langkah
yang benar. Mungkin kecil, tapi penting. Ia berpikir ini seperti secercah
cahaya di tengah kegelapan.
- SELESAI -
0 Komentar